Blogger templates

Menulis Untuk Peradaban

Blogger news

Blogroll

About

Blog Archive

Diberdayakan oleh Blogger.

Text Widget

About me

Ibu Rumah Tangga, Dosen, Pebisnis online, Blogger, Konsultan IndScript dan Anggota Institut Ibu profesional

Pages

Flickr Images

BTemplates.com

Senin, 20 Maret 2017


“ Bermanja-manjalah sesekali sama suamimu, jangan terlalu perkasa….” Ucap Nenek.
“ Aku terlalu perkasa Nek?” tanyaku kaget
“ Ya iyalah..pekerjaan semua kamu tangkas” jawab Nenek.

Kurang lebih itulah percakapan antara saya dan nenek pagi itu, sambil menikmati secangkir teh jahe hangat dan menonton berita dari stasiun televisi swasta yang beritanya terkadang tidak objektif. Sudah gak usah dijawab TV mana itu hehe.
Perkataan nenek tadi terngiang-ngiang ditelinga saya dan berlari-lari dipikiran saya. Benarkah saya terlalu perkasa?

 Memang benar, selama ini saya nyaris mengerjakan semua pekerjaan rumah baik itu bagiannya istri seperti nyuci, nyapu, ngepel, beres-beres dan masak, hingga pekerjaan yang memang bagiannya laki-laki.

Mencoba untuk flashback, mungkin ini salah satunya dikarenakan saya sudah terlalu mandiri. Sudah terbiasa menyelesaikan pekerjaan dan masalah sendiri. Dilihat dari sisi ekonomi, ketika masih single saya termasuk sudah mandiri jika dibanding dengan teman seusiaku. Ya, setidaknya sudah tidak meminta uang lagi ke orang tua. Malah sebaliknya, saya tangkas semua biaya hidup keluarga dan biaya kuliah adik saya. Padahal kala itu saya dan adik saya sama-sama masih study. Saya sedang menyelsaikan S2 sementara adik saya, Rina, sedang menyelesaikan pendidikan starta satunya di prodi arsitektur.

Bagaimana saya tidak memutar otak kala itu, penghasilan saya harus dibagi ke pos-pos pengeluaran. Berobat bapak, makan orang tua, biaya saya dan adik saya. Beruntungnya kami beruda mendapatkan beasiswa. Jadi biaya kuliah tidak terlalu berat.

Ketika ada pemasalahan, tidak ada tempat yang bisa saya curhati. Kakak laki-laki tidak punya, bapak pun tidak bisa berperan sebagai seorang bapak kala itu, padahal masih sehat. Tapi sama sekali tidak ada perannya. Alhasil, saya selalu mencurahkan kegetiran dan beratnya memikul beban hidup ini kepada Nya dan kepada ibu saya saja. Dalam hati saya berteriakn, saya harus kuat, saya tidak boleh kalah dengan keadaan, saya tidak boleh menyerah pada nasib.

Disinilah bedanya saya dengan teman sebaya saya. Ketika teman dengan mudahnya mendapatkan apa yang mereka inginkan, sementara saya harus berjuang dengan peluh keringat untuk mendapatkannya. Apalagi bapak sudah terkena stroke. Lengkap sudah beban tanggung jawab saya. Untungya ibu saya juga bukan orang yang bisanya hanya diam, dia seorang pedagang ulung. Ibu selalu memutar modal yang hanya seuprit, demi bisa menjalankan roda perekenomian keluarga. Sering saya terengah-engah menanggung beratnya beban hidup. Padahal saya masih single kala itu, harus menjadi tulang punggung keluarga sungguh lelah dan mneyakitkan. Memang begitu  kejam sistem kapitalis ini. Membiarkan seoarang anak gadis menganggung hidup keluarganya.

‘Menikahlah kamu Nak, usiamu sudah sangat mapan, teman-teman seusiamu sudah banyak yang menikah bahkan anaknya ada yang sudah 2” pinta ibu.
Saat itu saya hanya bisa menghela nafas panjang, “ kalo saya menikah, saya takut tidak bisa memberi uang lagi ke ibu, saya sudah nyaman dengan kondisi saya sekarang, saya tidak butuh laki-laki lagi bu” kataku.
“Hush..jangan gitu istigfar, perempuan itu harus menikah, karena itu pula yang di sunahkan oleh Rosul kita” jawab Ibu.
“menikahlah…ibu doakan suamimu kelak orang yang sangat sholih, tidak seperti bapakmu”  timpalnya lagi.
“menikah? Apakah tidak akan menghambat karir saya nantinya? Ah..hen…buat apa kamu ngaji sementara pikiranmu masih sekuler? Astagfirulloh…” begitulah perang pemikiran dibenakku.

Pendek cerita, Alhamdulillah akhirnya saya bertemu dengan seorang ikhwan yang perwatakannya 1800 berbeda dengan bapak.
Jika bapak keras memperlakukann anak-nakanya, ia begitu lembut dan sangat penyayang.
Apalagi dia termasuk laki-laki yang gemar shalat berjamaah di mesjid.
Nyaris, tak pernah ada pertengkaran sampai usia pernikhan kami menginjak 2 tahun. 
Hanya baru ada kritik kemarin dari Nenek. Nenek yang ketemu gede. Dan saat ini kami tinggal satu rumah.
Nasihat yang menghujam pada hati, bahwa jadi seorang istri jangan terlalu perkasa, berilah suamimu kesempatan dan kercayaan untuk melakukan dan menyelesaikan sesuatu.
Meskipun saya bisa, pura-pura saja tidak bisa. Dan sesekali bermanja-manja lah, dengan suami, suami biasanya suka dengan istrinya yang manja.
“Baiklah kalau begitu, saya akan coba..bismiliilah” tekadku dalam hati.

Nasihat membangun itu perlu diperhatikan dan harus diterapkan. Buat pak suami yang masih dinas Luar Negeri, ketika kamu pulang ke Indonesia, kamu akan melihat perubahan sikap istrimu dan semoga ini bisa menambah mawadah bagi kita. Aamiin.







0 komentar: